Burung Gagak Pencabut Nyawa (Cerpen by Eunike Yuniar Raharjo)

Burung Gagak Pencabut Nyawa

            Aku adalah  gagak pencabut nyawa, aku adalah burung peliharaan para iblis di Erazonia. Erazonia adalah tempat berbagai iblis – iblis berkumpul dan merencakan pencabutan nyawa bagi manusia – manusia yang berada di bumi. Hari ini aku dan iblis pemilikku mempunyai misi mencabut nyawa manusia. Aku harus terbang dan dikendarai oleh iblis pemilikku sejauh 100cm dari semestaku ke dunia manusia. Cm yang aku bahas disini bukan Cm seperti pengertian manusia, cm yang aku bahas ini adalah 1cm/1.000mil di dunia manusia.
            “Arke! Kita harus segera turun ke bumi!” perintah iblis pemilikku. “Siap tuan!” sahutku. Kamipun pergi berangkat ke bumi tetapi sampai ditengan perjalanan kami melihat ada malaikat penjaga yang sedang berjaga – jaga disekitar bumi. Kamipun kembali ke Erazonia dan membawa banyak pasukan untuk bertempur melawan malaikat – malaikat penjaga bumi tersebut. “Dewa! Banyak pasukan yang berjaga – jaga disekitar bumi dan kami tidak mampu menghadapinya sendiri.” Lapor iblis pemilikku kepada dewa pemimpin Erazonia. “Turunkan 1.000 pasukan ke bumi! Kita harus mencabut nyawa 100manusia sekarang jika tidak kita semua akan binasa!” perintah dewa kepada pasukan pengabdinya.
            1.000 pasukan yang telah dilatih di dalam api neraka diundang dan disipkan untuk bertempur melawan penjaga – penjaga bumi. Tepat pukul 12.00 malam pemimpin pasukanpun memberi perintah untuk mulai turun dan berperang melawan malaikat – malaikat penjaga bumi. Sayap hitam nan runcing bagai pisau saling mengasah memenuhi perbatasan bumi dan Erkezonia. Saya terbang di bagian barisan paling ujung karena sayapku yang hampir patah sehingga dewa tidak percaya lagi kepadaku.  Iblis pemilikku pun geram dengan keadaanku yang sperti ini. Hanya kekurangan fisikku ini tidak menghambat semua pikiran jahatku.
            Api pertempuran pun menyala begitu panasnya. Satu persatu pasukan pun dapat dilumpuhkan, namun tak sedikit pula pasukan iblis yang dikirim ke perapian panas di neraka termasuk aku pun hampir dilumpuhkan oleh malaikat penjaga bumi. “Srrrrrekkkkkkkkk. Sayapku!” rintihku saat darah hitam menetes dari sayapku. Sayap ini semakin parah, aku tak kuat lagi jika harus bertarung dengan sayap yang semakin lemas ini. Aku segera mencari tempat – tempat malam dimana banyak manusia – manusia yang penuh dengan noda hitam karena disanalah tempat paling aman untuk menyembuhkan lukaku dalam beberapa hari.
            “Tuan! Tolong aku!” teriakku memanggil tuanku.
            “Pergilah gagak! Saya sudah tidak membutuhkanmu lagi.” sahut tuanku.
            Lingkaran hitam ini semakin lama semakin kuat menarikku dan aku tidak tau kemana lingkaran hitam ini akan menyeretku. Aku seperti berada dalam kegelapan dengan kesunyian yang membekukan tempat ini. Dingin yang menyelimuti dan bunga yang memberi aroma wangi tempat ini  ditambah darah yang menetes dari sayap dinginku ini semakin membuat suasana di tempat ini mencekam dan membeku. Tak lama kemudian tempat gelap nan dingin ini berubah menjadi tempat yang penuh dengan bunga dan banyak air serta duduk pula manusia dengan kain merah dikepalanya yang tak berambut itu. Manusia itu menaikkan dan menurunkan bibirnya yang hitam itu yang hanya bisa saya lakukan adalah berdiri sambil meneteskan air liurku pertanda aku heran dengan keadaan disekitar sini. Oh, ternyata dukun itu sedang mencoba untuk berkomunikasi denganku, terlihat dari matanya yang merah menyala menatapku.
            “Hai dukun bodoh! Aku tak mengerti kamu membicarakan apa.” Tegasku kepada dukun itu.
            “Burung gagak!” kalimat pertama yang dapat saya pahami dari dukun itu.
            “Apa manusia? Kamu mengganggu saja. Apa maksudku menyuruhku datang kesini?” jawabku kepadanya.
            “Aku perlu bantuanmu gagak. Apakah engkau mau membantuku?” tukas dukun itu.
            “Ah dengan alasan apa kau dapat menyuruhku? Kalau saya mau, saya dapat mencabut nyawamu saat ini juga dukun!” Ancamku kepada dukun itu.
            Dukun itu hanya terdiam dan dikepalanya terlihat seperti ada nyala hitam yang menandakan bahwa dukun itu sealiran denganku. Tetapi aku tidak akan dengan mudah mempercayainya. Aku beranjak dari tempatku dan mengelilingi dukun yang sedang kebingungan mencari jawaban atas pertanyaanku tadi. Tak lama dukun itu mulai membuka bibirnya kembali dan berkata “Hai tuanku burung gagak yang amat perkasa. Hambamu ini lemah dan tak berdaya.” Kata – kata dukun itu membuatku terbang lebih tinggi dan lebih jauh dari Arkezonia dan aku berencana akan membantunya. Aku kemudian bertanya kepadanya apa yang harus aku lakukan untuk membantunya. Dukun itu menjawab dengan cepat dan singkat “Perkuatlah hambamu ini.” Oh itu adalah tugas yang sangat mudah bangiku. Aku kemudian menyuruh dukun itu untuk menyembukan sayapku yang penuh dengan luka.”
            Sehari setelah sayapku pulih meski tidak sesempurna dulu aku terbang menuju Arkezonia dan mencuri permata merah milik dewa dan membawanya kembali kepada dukun itu.
            “Hei dukun! Makanlah permata ini dan puasalah selama 1.000 hari, maka kamu akan menjadi sangat kuat.
            “Tapi apakah ini akan berhasil tuan? Apakah aku dapat menahan rasa lapar selama 1.000 hari?” jawab dukun itu tak percaya.
            “Permata itu adalah permata yang keramat milik kerajaan Iblis. Percayalah padaku.” tegasku kepada dukun itu.
            Kemudian dukun itu memakan permata pemberianku dan menawarkan bantuannya kepadaku sebagai balas budi untukku. “Aku hanya........” belum selesai aku menjawab pertanyaan dari dukun itu tiba – tiba lonceng yang berada pada atas pintu berbunyi pertanda ada manusia yang membutuhkan pertolongan mahkluk – mahkluk sepertiku. Manusia itu masuk dan duduk di depan meja dukun itu dan meminta pertolongan dukun didepannya. Dukun itu kemudian menoleh kearahku dan meminta bantuanku. Oh.....rupanya manusia itu ingin menjadi kaya, aku baru mengetahui alasannya datang kesini setelah dukun itu menjelaskannya kepadaku. Aku hanya memejamkan mata beberapa detik dan bicara kepada dukun itu bahwa caranya adalah dengan mandi air darah pada tengah malam dan seminggu kemudian harus kembali kesini lagi. Dukun itupun menyampaikan pesanku kepada manusia itu dan manusia itupun menyetujuinya serta memberikan amplop coklat kepada dukun itu.
            Waktu telah menunjukkan pukul 12.00 malam karena aku bosan di tempat itu aku mengajak dukun itu untuk berkeliling bumi dan melihat kebusukan – kebusukan perbuatan manusia pada saat malam hari. Dan yang lebih mencenganggkan banyak gagak – gagak dan iblis – iblis pengghuni Arkezonia yang dengan mudah berterbangan sepertiku tetapi banyak hal aneh yang terjadi pada mereka, mereka tak saling menyapa seperti tidak mengenal satu dengan yang lainnya padahal peraturan para iblis dan gagak Arkezonia adalah sayap pisau otak dingin bersaudara mencapai kejahatan maksimal. Aku semakin tak mengerti dengan semua keadaan ini dimana para iblis dan gagak tak lagi membunuh manusia tetapi menolong manusia. Aku hanya bisa terbang membisu tak percaya sambil menggenggam dukun tadi. Karena sayapku yang belum puih sepenuhnya aku terjatuh di sebuah gedung penuh pencahayaan, aku hanya bisa mengendap – endap disana karena jika aku ketahuan berada di sini tamat sudah riwayatku.
            Tak sengaja aku melihat kedalam gedung dan menjumpai banyak saudara – saudaraku yang dihipnotis agar mereka berubah menjadi baik. Aku kemudian menyelidiki satu – persatu ruangan – ruangan yang ada di dalam gedung tersebut. Banyak saudara -  saudaraku yang terperangkap dalam lingkaran putih bercahaya yang dipenuhi dengan mantra – mantra yang melukai kulit. Aku sangat geram dengan keadaan didalam gedung tersebut namun aku juga tak tahu apa yang harus aku lakukan. “Lebih baik aku pulang saja dan mencari jalan untuk ini semua.” pikirku. Aku kemudian mencari dukun tadi dan mengajaknya untuk kembali ke rumahnya.
            Sesampainya di rumah dukun tadi aku mulai memeras otakku untuk membebaskan saudara – saudaraku dan semuanya sia – sia. Aku merasa sangat tak berguna untuk saudara – saudaraku saat ini, aku hanya seonggok sampah yang menjijikan dan tak diharapkan lagi. Aku mulai putus asa dengan kenyataan ini, tiba – tiba dukun itu muncul dan menanyakan hal apa yang meresahkan hatiku. Kata perkata mulai keluar dari mulutku aku menjelaskan semuanya kepadanya, tanpa aku mengucapkan kata ‘tolong’ dukun itu pun menawarkan bantuannya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah bola bercahaya yang mengeluarkan asap dan mulai mengucapkan mantranya, ternyata aku dapat melihat saudara – saudaraku yang ada di dalam gedung tadi. Aku dan dukun itu kemudian mencari tahu semua yang dilakukan oleh malaikat – malaikat penjaga bumi itu dan mulai merencanakan pembebasan saudara – saudaraku bersamanya tetapi itu bukanlah hal yang mudah banyak mantra – mantra yang mengelilingi dan menaungi gedung itu. Dan hebatnya dukun itu tidak pernah patah semangat dalam mencari jalannya hingga 1 bulan kemudian kami menemukan cara yang tepat untuk pembebasan tersebut.
            Hari berjalan dengan cepat tanpa menghiraukan segalanya. Dan persiapan pembebasan belum juga selesai, aku terlalu lambat dalam hal ini. Padahal seluruh keringat sudah kukeluarkan juga aku tak henti bekerja hingga mata ini tak memiliki waktu umtuk berkedip.  Kini tubuhku yang kurus kering dan lemah semakin lemah dan aku merebahkan tubuhku di sebuah kasur yang sangat tidak nyaman. Tiba – tiba kudengar suara dukun itu berteriak “Gagak! Gagak! Kemarilah aku menemukan buku sihir – sihirku.”. Aku langsung bergegas menemuinya setelah teriakan dukun tadi.
            “Buku seperti apa yang kau maksud? Menganggu saja.” Tegasku acuh.
            “Buku sihir – sihirku yang dapat membantumu.” Jawab dukun itu.
            “Membantuku? Maksudmu membantu melepaskan saudaraku?” tanyaku heran.
            “Tentu, apalagi masalahmu selain itu? Bukankahh tidak ada?” jawabnya sok tau.
            “Oke – oke kali ini aku mengalah.”
            Aku kemudian membuka buku sihir itu dan mencari suatu sihir yang mungkin dapat membantuku. Daaaannnnnnn.. Aku menemukan sihir penghilang mantra putih. Oh akhirnya kudapatkan juga, aku mulai merasa lega. “Saudaraku akan segera kembali dan akan banyak kematian lagi.” pikirku. Aduh, aku baru ingat bahwa tujuanku ke bumi untuk membinasakan manusia bukan malah membantu seorang dukun. Pikiran itu membuatku ingin cepat – cepat menyelamatkan saudaraku dan kembali pulang ke Erazonia.
            Pagi harinya dengan buku sihir itu aku mulai memasuki gedung tempat penyandran saudara – saudaraku.  Arrrgggghhhhh, sayapku terkena lingkaran putih hasil dari mantra malaikat penjaga bumi. Ini terlalu sakit, sayap yang hampir pulih kini menjadi luka lagi dan ini lebih sakit dari biasanya. Namun aku tak boleh menyerah dari rasa sakit ini, kembalinya saudaraku adalah segalanya. Aku terus berjalan dan menyusuri satu persatu ruangan dalam gedung itu dengan mengendap – endap. Trappp... trapppp... trappp... suara sepatu – sepatu prajurit yang sedang mengawasi gedung itu terdengar sangat jelas dan aku langsung mengepakkan sayapku dan terbang dengan sekuat tenaga agar keberadaanku di gedung itu tidak terdeteksi. Prangggg... ternyata kepalaku terbentur baja pondasi dari gedung itu, “Sial sekali aku.” pikirku. Karena takut ketahuan aku langsung terbang ke atas baja dan mencoba memperkecil diriku agar tidak terlihat. Setelah prajurit – prajurit penjaga itu lewat aku menolehkan kepalaku.
            Dan ternyata di tempat itulah saudara – saudaraku di penjara sebelum mereka di hipnotis. Aku langsung mengeluarkan buku sihirku dan membacakan sihir agar semua lingkaran cahaya itu musnah, dan wuuusshhh lingkaran cahaya itu benar – benar musnah dan saudara – saudaraku terbang menuju Erazonia.
            “Hei iblis! Hei gagak! Mau kemana kalian?” teriak seorang malaikat.
            “Kami telah bebas, dewa telah kembali. Maka kami harus pulang.” sahut saudaraaku.
            “Tidak! Kalian tidak boleh kembali. Kalian tidak boleh membinasakan manusia lagi.” jawab malaikat dengan geram.
            “Membinasakan adalah tugas kami sejak kami diciptakan, maka kami harus kembali dan menjalankan tugas.” jawab saudaraku dengan mudahnya.
            Malaikat itu lantas membacakan mantranya agar gedung itu tertutup kembali dan aku dengan cepatnya membacakan sihirku dan langsung terbang bersama saudara – saudaraku. Rasa lega, bangga, haru dan bahagia saat ini menyelimuti tubuh dan pikiranku seakan aku terbang dengan mudahnya tanpa merasakan sakitnya sayapku ini. Ditambah lagi saudara – saudaraku yang menyanjungku dan menyebahku yang membuat hari ini seakan aku menjadi dewa atas warga – warga Erazonia.
            Tinggal beberapa cm lagi aku dan saudara – saudaraku sampai di Erazonia tiba – tiba perasaan kehilangan dan rasa bersalah membelengguku. Aku baru menyadari bahwa aku belum mengembalikan buku sihir dan belum mengucapkan salam perpisahan kepada dukun itu. Aku kemudian terbang menjauh dari saudara – saudaraku dan kembali ke bumi untuk bertemu dengan si dukun tanpa menghiraukan betapa bahayanya jika aku kembali lagi ke bumi.
            Anak panah – anak panah berterbangan di langit dan aku berusaha menghindari anak panah tersebut. Bukan hal yang mudah untuk menghindari anak panah tersebut itu dikarenakan banyaknya jumlah prajurit yang sedang memanahku dan betapa mahirnya prajurit itu. Kini hari dimana aku merasa sangat bahagia rusak seketika, namun satu tujuanku pergi ke bumi lagi yaitu bertemu dengan si dukun. Maka aku harus berjuang hingga tetes darah terakhir agar aku dapat bertemu dengan si dukun tersebut.
Dan ternyata perjuanganku mengalahkan rasa sakit dan ketakutan tidak sia – sia. Akhirnya aku sampai juga di sebuah gubuk kecil milik dukun itu. Dukun itu menyambutku dengan hangat, ia memberiku secangkir darah dan sepiring cacing – cacing segar. Ia juga menanyakan dari mana sajakah aku hari ini yang seharusnya pergi bersama dia menyelamatkan saudara – saudaraku. Karena ia menanyakan hal itu aku kemudian menjelaskan kepadanya bahwa aku telah menyelamatkan saudara – saudaraku dan hampir saja kembali ke Erazonia jika aku tidak mengingat buku sihir dan si dukun. Setelah mendengar semua cerita – ceritaku si dukunpun memahami semua keadaanku dan tidak jadi naik darah kepadaku.
Setelah aku merasa bahwa keadaan diluar sudah cukup aman dan aku telah menggembalikan buku sihir serta berpamitan dengan si dukun aku kemudian bergegas untuk kembali ke Erazonia. Meskipun aku telah mengembalikan buku sihir si dukun dan berpamitan dengannya perasaan resah ini semakin kuat kurasakan. “Mungkin ini hanya perasaanku saja.” pikirku. Aku terus tebang dan terbang hingga pintu gerbang Erazonia, disana telah banyak yang menggu dan menyambutku dengan berbagai hiasan dan kue – kue. Ternyata memang benar perasaan resah itu hanya perasaanku saja, aku sangat bersyukur saat menyadari itu.
Tiba – tiba suara nyaring sang dewa memanggilku, aku langsung bergegas untuk menemui dewa karena dalam pikiranku aku akan mendapat penggahargaan karena tindakanku menyelamatkan saudara – saudaraku tadi. Ternyata apa yang aku pikirkan benar terjadi dan aku bahkan mendapatkan hal yang jauh lebih baik, aku diangkat menjadi panglima pertempuran Erazonia. Aku tak mengerti mengapa sang dewa harus menyiapkan prajurit pertempuran, pasti sedang ada bahaya yang sangat mengancam Erazonia. Segala pikiran burukku aku singkirkan dan akhirnya aku menyetujui pengangkatanku menjadi panglima perang.
Setiap hari aku berlatih seperti besi dan baja, itu adalah pelatihan yang sangat keras yang pernah aku rasakan selama hidupku ini. Namun aku tetap semangat menghadapi latihan itu seperti semangat saat aku harus membebaskan saudara – saudaraku. Setiap hari aku harus terbang beratus – ratus cm dan menghindari berbagai panah api, batu es dan pisau suci yang dapat memusnahkanku jika mengenai sedikit saja bagian tubuhku. Melakukan hal yang sama berulang – ulang itu sangat membosankan.
“Arke!” panggil sang dewa.
“Ada apa tuan?” sahutku penuh ketakutan.
“Nanti malam kita harus pergi ke bumi lagi. Kita harus mencari permataku yang dicuri dan kita harus menjalankan tugas kita yang sempat terhenti.” gertak sang dewa.
“Tugas apa tuan?” tanyaku penuh bingung.
“Menurutmu apa? Dasar bodoh! Kita harus membinasakan manusia lagi, jika tidak kita tidak bisa hidup di Arkezonia lagi.” jawab dewa dengan nada yang tinggi.
“Baik tuan.” sahutku.
Setelah mendapat perintah tadi aku langsung menyiapkan pasukanku dan menyusun barisan semaksimal mungkin.
“Panglima! Panglima! Kita mendapat banyak masalah.”
“Masalah? Masalah apa?”
“Banyak pasukan yang mundur dan memilih dibinasakan di tempat ini.”
“Apa!? Jadi berapa pasukan yang tersisa sekarang?”
“Hanya ada 100 pasukan tuan.”
“Kalau begitu panggil mereka ke sini dan kita segera berangkat.”
Kemudian 100 pasukan itu berkumpul dan aku mulai menyusun ulang formasi. Setelah dirasa sudah siap kami mulai terbang dan turun ke bumi. Dalam perjalanan semua pasukan amat gugup dan tidak percaya diri karena jumlah mereka yang sedikit, namun menurutku meskipun jumlah mereka hanya sedikit tetapi memiliki tekat yang kuat 1.000 pasukanpun dapat ditaklukan dengan mudah.
Pertempuranpun dimulai. Kami semua berjuang hingga titik darah terakhir, banyak pasukan yang terbunuh namun akhirnya kami dapat menaklukan malaikat penjaga bumi. Kami kemudian berpencar untuk membinasakan manusia dan mencari permata milik dewa yang sebenarnya aku telah mengetahui dimana keberadaannya. Saat ini aku hanya bisa menyembunyikan segala kebenarannya dan ‘berlagak’ tidak tahu dimana keberadaan permata milik dewa tersebut.
“Panglima. Aku telah menemukan keberadaan permata milik dewa.” ujar seorang pasukanku.
“Ada dimana permata itu? Dan siapa yang mencurinya?” tanyaku ‘sok’ tidak tahu.
“Ini tuan ada di perut dukun ini.” terang seorang pasukan.
Aku dan pasukanku berencana untuk membawa dukun itu ke Erazonia. Namun jika nanti ketahuan yang mencuri permata itu adalah aku maka akan terjadi malapetaka besar untuk hidupku. Otakku berpikir dengan keras bagaimana caranya untuk membebaskan si dukun agar aku terlepas dari malapetaka. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Bagaimana ini? hanya pertanyaan itu yang menggerogoti otakku dan memeluk erat pikiranku. Hingga saat inipun aku belum juga menemukan jawaban atas pertanyaan itu.
“Hei gagak. Lepaskan aku.” bisik dukun itu.
“Diam kau! Aku juga sedang memikirkan caranya ini!” gertakku.
Akhirnya setelah aku bicara dengan si dukun aku menemukan sebuah ide, yaitu dengan menjatuhkan kurungan si dukun dan seakan – akan dukun itu kabur.  Aku langsung membicarakan ide ini kepadanya dan dukun itupun menyetujuinya. Malampun tiba, aku dan pasukanku akan kembali ke Erazonia setelah semua misi terselesaikan. Dan aku menghasut pasukan – pasukanku agar aku yang membawa kurungan si dukun, dan akhirnya mereka menyutujuinya. Didalam perjalanan aku berpura – pura sayapku sakit dan aku terjatuh.
“Hei lihat dukun itu melarikan diri!” teriak seorang pasukan.
“Ayo kita tangkap.” sahut pasukan yang lain.
“Cepat – cepat.” perintahku agar aku tidak terlihat sengaja melakukannya.
            Pasukan iblis dan gagak berbondong – bodong mengejar si dukun yang sedang mencoba berlari. Dukun itu bahkan kehabisan sihirnya untuk melarikan diri, karena hal itu dukun itu dapat tertangkap dan dijerat oleh sihir si iblis terkuat. “Sial malapetakaku akan segera datang,” pikirku. Tiba – tiba pikiran jahat merasuki pikiranku “Aku akan mengancam dukun itu agar tidak mengatakan semuanya kepada dewa.
            “Hei dukun. Kamu tidak boleh mengatakan bahwa kau mendapat permata itu dariku.” Bisikku setangah tinggi.
            “HAHAHAHAHA, dengan alasan apa aku harus seperti itu? Apa kau bisa menjamin hidupku jika aku tidak mengatakan hal seperti itu?” bantah si dukun.
            “Oke aku akan berikan sayapku dan ilmu kekebalanku kepadamu jika kau berjanji tidak akan mengatakan hal itu kepada dewa.” tawarku.
            “Boleh, mana? Sekarang berikan sayap dan ilmu kebalmu kepadaku.”  Pinta dukun itu kepadaku.
            Aku kemudian melepas sayapku meskipun hal ini sangat menyakitkan namun demi hidupku aku relakan semua ini. Setelah sayapku diterima oleh si dukun, aku kemudian menstranfer ilmu kebalku kepada dengan syarat aku bisa musnah jika aku terluka sedikit saja. Setelah melewati masa – masa sakit karena pelepasan sayapku dan pentransferan ilmu kebalku, kami akhirnya tiba di Erazonia, tempat nan gelap dan menyeramkamkan.
            Tanpa pikir panjang aku melaporkan semua kejadian hari ini kepada dewa dan menceritakan bahwa si dukunlah pencuri permata dewa. Karena terlalu marahnya dewa ia menyuruh pasukannya untuk menghukum dukun itu dengan hukum cambuk hingga mati. Namun, hal tak terduga dikatakan oleh si dukun kepada raja sesaat sebelum ia menerima hukumannya.
            “Tunggu dewa. Aku ingin menyampaikan kebenarannya. Bahwa sesungguhnya yang mencuri permata ini bukan aku melainkan si gagak cacat yang dibuang di bumi.” tegas si dukun.
            “Siapakah maksudmu? Arke?” tanya dewa dengan bingung.
            “Benar dewa siapa lagi kalau bukan dia. Buktinya adalah sayap dan ilmu kebal ini dewa, ia memberikannya kepadaku sebagai imbalan atas janjiku untuk tidak membicarakan hal ini kepada dewa.” sahut si dukun.
            Mendengar perkataannya nyawa ini seakan sudah melayang terlebih dahulu. Darah berhenti mengalir dan jantung berhenti berdetak.
            “Arke! Apakah benar yang dikatakan oleh dukun itu tadi?” suara lengkingan dewa itu seakan menusuk telingaku.
            “Be.... Benar dewa.” jawabku yang sudah tidak bisa mencari alasan lagi untuk berbohong.
            “Tega – teganya kamu melakukan semua hal itu Arke. Tanpa permata itu semua rakyat Erazonia akan binasa Arke!” jelas sang dewa.
            “Maaf dewa aku tidak mengerti bahwa akan terjadi seperti itu dewa. Aku sangat menyesal atas perbuatanku ini dewa. Maafkan aku dewa.” sesalku.
            “Semua sudah terlambat Arke, nanti pukul 5 pagi kita semua akan binasa.” Jelas sang dewa kembali.
            Aku sangat menyesal atas perbuatanku ini, namun aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan agar saudara – saudaraku tidak ikut dibinasakan. Semuanya sudah terlambat. Hanya aku berjanji dalam hatiku tidak akan mengambil barang milik orang lain meskipun aku harus dibinasakan sekalipun.

Karya : Eunike Yuniar Raharjo 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Life Lesson #1 Menghargai Waktu-In Memoriam Meika Indahsari

Apa itu Cinta?