Burung Gagak Pencabut Nyawa (Cerpen by Eunike Yuniar Raharjo)
Burung
Gagak Pencabut Nyawa
Aku adalah gagak pencabut nyawa, aku adalah burung
peliharaan para iblis di Erazonia. Erazonia adalah tempat berbagai iblis –
iblis berkumpul dan merencakan pencabutan nyawa bagi manusia – manusia yang
berada di bumi. Hari ini aku dan iblis pemilikku mempunyai misi mencabut nyawa
manusia. Aku harus terbang dan dikendarai oleh iblis pemilikku sejauh 100cm
dari semestaku ke dunia manusia. Cm yang aku bahas disini bukan Cm seperti
pengertian manusia, cm yang aku bahas ini adalah 1cm/1.000mil di dunia manusia.
“Arke! Kita harus segera turun ke bumi!”
perintah iblis pemilikku. “Siap tuan!” sahutku. Kamipun pergi berangkat ke bumi
tetapi sampai ditengan perjalanan kami melihat ada malaikat penjaga yang sedang
berjaga – jaga disekitar bumi. Kamipun kembali ke Erazonia dan membawa banyak
pasukan untuk bertempur melawan malaikat – malaikat penjaga bumi tersebut.
“Dewa! Banyak pasukan yang berjaga – jaga disekitar bumi dan kami tidak mampu
menghadapinya sendiri.” Lapor iblis pemilikku kepada dewa pemimpin Erazonia.
“Turunkan 1.000 pasukan ke bumi! Kita harus mencabut nyawa 100manusia sekarang
jika tidak kita semua akan binasa!” perintah dewa kepada pasukan pengabdinya.
1.000 pasukan yang telah dilatih di
dalam api neraka diundang dan disipkan untuk bertempur melawan penjaga –
penjaga bumi. Tepat pukul 12.00 malam pemimpin pasukanpun memberi perintah
untuk mulai turun dan berperang melawan malaikat – malaikat penjaga bumi. Sayap
hitam nan runcing bagai pisau saling mengasah memenuhi perbatasan bumi dan
Erkezonia. Saya terbang di bagian barisan paling ujung karena sayapku yang
hampir patah sehingga dewa tidak percaya lagi kepadaku. Iblis pemilikku pun geram dengan keadaanku
yang sperti ini. Hanya kekurangan fisikku ini tidak menghambat semua pikiran
jahatku.
Api pertempuran pun menyala begitu
panasnya. Satu persatu pasukan pun dapat dilumpuhkan, namun tak sedikit pula
pasukan iblis yang dikirim ke perapian panas di neraka termasuk aku pun hampir
dilumpuhkan oleh malaikat penjaga bumi. “Srrrrrekkkkkkkkk. Sayapku!” rintihku
saat darah hitam menetes dari sayapku. Sayap ini semakin parah, aku tak kuat
lagi jika harus bertarung dengan sayap yang semakin lemas ini. Aku segera
mencari tempat – tempat malam dimana banyak manusia – manusia yang penuh dengan
noda hitam karena disanalah tempat paling aman untuk menyembuhkan lukaku dalam
beberapa hari.
“Tuan! Tolong aku!” teriakku
memanggil tuanku.
“Pergilah gagak! Saya sudah tidak
membutuhkanmu lagi.” sahut tuanku.
Lingkaran hitam ini semakin lama
semakin kuat menarikku dan aku tidak tau kemana lingkaran hitam ini akan
menyeretku. Aku seperti berada dalam kegelapan dengan kesunyian yang membekukan
tempat ini. Dingin yang menyelimuti dan bunga yang memberi aroma wangi tempat
ini ditambah darah yang menetes dari
sayap dinginku ini semakin membuat suasana di tempat ini mencekam dan membeku.
Tak lama kemudian tempat gelap nan dingin ini berubah menjadi tempat yang penuh
dengan bunga dan banyak air serta duduk pula manusia dengan kain merah
dikepalanya yang tak berambut itu. Manusia itu menaikkan dan menurunkan
bibirnya yang hitam itu yang hanya bisa saya lakukan adalah berdiri sambil
meneteskan air liurku pertanda aku heran dengan keadaan disekitar sini. Oh,
ternyata dukun itu sedang mencoba untuk berkomunikasi denganku, terlihat dari
matanya yang merah menyala menatapku.
“Hai dukun bodoh! Aku tak mengerti
kamu membicarakan apa.” Tegasku kepada dukun itu.
“Burung gagak!” kalimat pertama yang
dapat saya pahami dari dukun itu.
“Apa manusia? Kamu mengganggu saja.
Apa maksudku menyuruhku datang kesini?” jawabku kepadanya.
“Aku perlu bantuanmu gagak. Apakah
engkau mau membantuku?” tukas dukun itu.
“Ah dengan alasan apa kau dapat
menyuruhku? Kalau saya mau, saya dapat mencabut nyawamu saat ini juga dukun!”
Ancamku kepada dukun itu.
Dukun itu hanya terdiam dan
dikepalanya terlihat seperti ada nyala hitam yang menandakan bahwa dukun itu
sealiran denganku. Tetapi aku tidak akan dengan mudah mempercayainya. Aku
beranjak dari tempatku dan mengelilingi dukun yang sedang kebingungan mencari
jawaban atas pertanyaanku tadi. Tak lama dukun itu mulai membuka bibirnya
kembali dan berkata “Hai tuanku burung gagak yang amat perkasa. Hambamu ini
lemah dan tak berdaya.” Kata – kata dukun itu membuatku terbang lebih tinggi
dan lebih jauh dari Arkezonia dan aku berencana akan membantunya. Aku kemudian
bertanya kepadanya apa yang harus aku lakukan untuk membantunya. Dukun itu
menjawab dengan cepat dan singkat “Perkuatlah hambamu ini.” Oh itu adalah tugas
yang sangat mudah bangiku. Aku kemudian menyuruh dukun itu untuk menyembukan
sayapku yang penuh dengan luka.”
Sehari setelah sayapku pulih meski
tidak sesempurna dulu aku terbang menuju Arkezonia dan mencuri permata merah
milik dewa dan membawanya kembali kepada dukun itu.
“Hei dukun! Makanlah permata ini dan
puasalah selama 1.000 hari, maka kamu akan menjadi sangat kuat.
“Tapi apakah ini akan berhasil tuan?
Apakah aku dapat menahan rasa lapar selama 1.000 hari?” jawab dukun itu tak
percaya.
“Permata itu adalah permata yang
keramat milik kerajaan Iblis. Percayalah padaku.” tegasku kepada dukun itu.
Kemudian dukun itu memakan permata
pemberianku dan menawarkan bantuannya kepadaku sebagai balas budi untukku. “Aku
hanya........” belum selesai aku menjawab pertanyaan dari dukun itu tiba – tiba
lonceng yang berada pada atas pintu berbunyi pertanda ada manusia yang
membutuhkan pertolongan mahkluk – mahkluk sepertiku. Manusia itu masuk dan
duduk di depan meja dukun itu dan meminta pertolongan dukun didepannya. Dukun
itu kemudian menoleh kearahku dan meminta bantuanku. Oh.....rupanya manusia itu
ingin menjadi kaya, aku baru mengetahui alasannya datang kesini setelah dukun
itu menjelaskannya kepadaku. Aku hanya memejamkan mata beberapa detik dan
bicara kepada dukun itu bahwa caranya adalah dengan mandi air darah pada tengah
malam dan seminggu kemudian harus kembali kesini lagi. Dukun itupun
menyampaikan pesanku kepada manusia itu dan manusia itupun menyetujuinya serta
memberikan amplop coklat kepada dukun itu.
Waktu telah menunjukkan pukul 12.00
malam karena aku bosan di tempat itu aku mengajak dukun itu untuk berkeliling
bumi dan melihat kebusukan – kebusukan perbuatan manusia pada saat malam hari. Dan
yang lebih mencenganggkan banyak gagak – gagak dan iblis – iblis pengghuni
Arkezonia yang dengan mudah berterbangan sepertiku tetapi banyak hal aneh yang
terjadi pada mereka, mereka tak saling menyapa seperti tidak mengenal satu
dengan yang lainnya padahal peraturan para iblis dan gagak Arkezonia adalah
sayap pisau otak dingin bersaudara mencapai kejahatan maksimal. Aku semakin tak
mengerti dengan semua keadaan ini dimana para iblis dan gagak tak lagi membunuh
manusia tetapi menolong manusia. Aku hanya bisa terbang membisu tak percaya
sambil menggenggam dukun tadi. Karena sayapku yang belum puih sepenuhnya aku
terjatuh di sebuah gedung penuh pencahayaan, aku hanya bisa mengendap – endap
disana karena jika aku ketahuan berada di sini tamat sudah riwayatku.
Tak sengaja aku melihat kedalam
gedung dan menjumpai banyak saudara – saudaraku yang dihipnotis agar mereka
berubah menjadi baik. Aku kemudian menyelidiki satu – persatu ruangan – ruangan
yang ada di dalam gedung tersebut. Banyak saudara - saudaraku yang terperangkap dalam lingkaran
putih bercahaya yang dipenuhi dengan mantra – mantra yang melukai kulit. Aku
sangat geram dengan keadaan didalam gedung tersebut namun aku juga tak tahu apa
yang harus aku lakukan. “Lebih baik aku pulang saja dan mencari jalan untuk ini
semua.” pikirku. Aku kemudian mencari dukun tadi dan mengajaknya untuk kembali
ke rumahnya.
Sesampainya di rumah dukun tadi aku
mulai memeras otakku untuk membebaskan saudara – saudaraku dan semuanya sia –
sia. Aku merasa sangat tak berguna untuk saudara – saudaraku saat ini, aku
hanya seonggok sampah yang menjijikan dan tak diharapkan lagi. Aku mulai putus
asa dengan kenyataan ini, tiba – tiba dukun itu muncul dan menanyakan hal apa
yang meresahkan hatiku. Kata perkata mulai keluar dari mulutku aku menjelaskan semuanya
kepadanya, tanpa aku mengucapkan kata ‘tolong’ dukun itu pun menawarkan
bantuannya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah bola bercahaya yang mengeluarkan
asap dan mulai mengucapkan mantranya, ternyata aku dapat melihat saudara –
saudaraku yang ada di dalam gedung tadi. Aku dan dukun itu kemudian mencari
tahu semua yang dilakukan oleh malaikat – malaikat penjaga bumi itu dan mulai
merencanakan pembebasan saudara – saudaraku bersamanya tetapi itu bukanlah hal
yang mudah banyak mantra – mantra yang mengelilingi dan menaungi gedung itu. Dan
hebatnya dukun itu tidak pernah patah semangat dalam mencari jalannya hingga 1
bulan kemudian kami menemukan cara yang tepat untuk pembebasan tersebut.
Hari
berjalan dengan cepat tanpa menghiraukan segalanya. Dan persiapan pembebasan
belum juga selesai, aku terlalu lambat dalam hal ini. Padahal seluruh keringat
sudah kukeluarkan juga aku tak henti bekerja hingga mata ini tak memiliki waktu
umtuk berkedip. Kini tubuhku yang kurus
kering dan lemah semakin lemah dan aku merebahkan tubuhku di sebuah kasur yang
sangat tidak nyaman. Tiba – tiba kudengar suara dukun itu berteriak “Gagak!
Gagak! Kemarilah aku menemukan buku sihir – sihirku.”. Aku langsung bergegas
menemuinya setelah teriakan dukun tadi.
“Buku
seperti apa yang kau maksud? Menganggu saja.” Tegasku acuh.
“Buku
sihir – sihirku yang dapat membantumu.” Jawab dukun itu.
“Membantuku?
Maksudmu membantu melepaskan saudaraku?” tanyaku heran.
“Tentu,
apalagi masalahmu selain itu? Bukankahh tidak ada?” jawabnya sok tau.
“Oke
– oke kali ini aku mengalah.”
Aku
kemudian membuka buku sihir itu dan mencari suatu sihir yang mungkin dapat
membantuku. Daaaannnnnnn.. Aku menemukan sihir penghilang mantra putih. Oh
akhirnya kudapatkan juga, aku mulai merasa lega. “Saudaraku akan segera kembali
dan akan banyak kematian lagi.” pikirku. Aduh, aku baru ingat bahwa tujuanku ke
bumi untuk membinasakan manusia bukan malah membantu seorang dukun. Pikiran itu
membuatku ingin cepat – cepat menyelamatkan saudaraku dan kembali pulang ke
Erazonia.
Pagi
harinya dengan buku sihir itu aku mulai memasuki gedung tempat penyandran
saudara – saudaraku. Arrrgggghhhhh,
sayapku terkena lingkaran putih hasil dari mantra malaikat penjaga bumi. Ini
terlalu sakit, sayap yang hampir pulih kini menjadi luka lagi dan ini lebih
sakit dari biasanya. Namun aku tak boleh menyerah dari rasa sakit ini,
kembalinya saudaraku adalah segalanya. Aku terus berjalan dan menyusuri satu
persatu ruangan dalam gedung itu dengan mengendap – endap. Trappp... trapppp...
trappp... suara sepatu – sepatu prajurit yang sedang mengawasi gedung itu
terdengar sangat jelas dan aku langsung mengepakkan sayapku dan terbang dengan
sekuat tenaga agar keberadaanku di gedung itu tidak terdeteksi. Prangggg...
ternyata kepalaku terbentur baja pondasi dari gedung itu, “Sial sekali aku.”
pikirku. Karena takut ketahuan aku langsung terbang ke atas baja dan mencoba
memperkecil diriku agar tidak terlihat. Setelah prajurit – prajurit penjaga itu
lewat aku menolehkan kepalaku.
Dan
ternyata di tempat itulah saudara – saudaraku di penjara sebelum mereka di
hipnotis. Aku langsung mengeluarkan buku sihirku dan membacakan sihir agar
semua lingkaran cahaya itu musnah, dan wuuusshhh lingkaran cahaya itu benar –
benar musnah dan saudara – saudaraku terbang menuju Erazonia.
“Hei
iblis! Hei gagak! Mau kemana kalian?” teriak seorang malaikat.
“Kami
telah bebas, dewa telah kembali. Maka kami harus pulang.” sahut saudaraaku.
“Tidak!
Kalian tidak boleh kembali. Kalian tidak boleh membinasakan manusia lagi.”
jawab malaikat dengan geram.
“Membinasakan
adalah tugas kami sejak kami diciptakan, maka kami harus kembali dan
menjalankan tugas.” jawab saudaraku dengan mudahnya.
Malaikat
itu lantas membacakan mantranya agar gedung itu tertutup kembali dan aku dengan
cepatnya membacakan sihirku dan langsung terbang bersama saudara – saudaraku.
Rasa lega, bangga, haru dan bahagia saat ini menyelimuti tubuh dan pikiranku
seakan aku terbang dengan mudahnya tanpa merasakan sakitnya sayapku ini.
Ditambah lagi saudara – saudaraku yang menyanjungku dan menyebahku yang membuat
hari ini seakan aku menjadi dewa atas warga – warga Erazonia.
Tinggal
beberapa cm lagi aku dan saudara – saudaraku sampai di Erazonia tiba – tiba
perasaan kehilangan dan rasa bersalah membelengguku. Aku baru menyadari bahwa
aku belum mengembalikan buku sihir dan belum mengucapkan salam perpisahan
kepada dukun itu. Aku kemudian terbang menjauh dari saudara – saudaraku dan
kembali ke bumi untuk bertemu dengan si dukun tanpa menghiraukan betapa
bahayanya jika aku kembali lagi ke bumi.
Anak
panah – anak panah berterbangan di langit dan aku berusaha menghindari anak
panah tersebut. Bukan hal yang mudah untuk menghindari anak panah tersebut itu
dikarenakan banyaknya jumlah prajurit yang sedang memanahku dan betapa mahirnya
prajurit itu. Kini hari dimana aku merasa sangat bahagia rusak seketika, namun
satu tujuanku pergi ke bumi lagi yaitu bertemu dengan si dukun. Maka aku harus
berjuang hingga tetes darah terakhir agar aku dapat bertemu dengan si dukun
tersebut.
Dan ternyata
perjuanganku mengalahkan rasa sakit dan ketakutan tidak sia – sia. Akhirnya aku
sampai juga di sebuah gubuk kecil milik dukun itu. Dukun itu menyambutku dengan
hangat, ia memberiku secangkir darah dan sepiring cacing – cacing segar. Ia
juga menanyakan dari mana sajakah aku hari ini yang seharusnya pergi bersama
dia menyelamatkan saudara – saudaraku. Karena ia menanyakan hal itu aku
kemudian menjelaskan kepadanya bahwa aku telah menyelamatkan saudara –
saudaraku dan hampir saja kembali ke Erazonia jika aku tidak mengingat buku
sihir dan si dukun. Setelah mendengar semua cerita – ceritaku si dukunpun
memahami semua keadaanku dan tidak jadi naik darah kepadaku.
Setelah aku merasa
bahwa keadaan diluar sudah cukup aman dan aku telah menggembalikan buku sihir
serta berpamitan dengan si dukun aku kemudian bergegas untuk kembali ke
Erazonia. Meskipun aku telah mengembalikan buku sihir si dukun dan berpamitan
dengannya perasaan resah ini semakin kuat kurasakan. “Mungkin ini hanya
perasaanku saja.” pikirku. Aku terus tebang dan terbang hingga pintu gerbang
Erazonia, disana telah banyak yang menggu dan menyambutku dengan berbagai
hiasan dan kue – kue. Ternyata memang benar perasaan resah itu hanya perasaanku
saja, aku sangat bersyukur saat menyadari itu.
Tiba – tiba suara
nyaring sang dewa memanggilku, aku langsung bergegas untuk menemui dewa karena dalam
pikiranku aku akan mendapat penggahargaan karena tindakanku menyelamatkan
saudara – saudaraku tadi. Ternyata apa yang aku pikirkan benar terjadi dan aku bahkan
mendapatkan hal yang jauh lebih baik, aku diangkat menjadi panglima pertempuran
Erazonia. Aku tak mengerti mengapa sang dewa harus menyiapkan prajurit
pertempuran, pasti sedang ada bahaya yang sangat mengancam Erazonia. Segala
pikiran burukku aku singkirkan dan akhirnya aku menyetujui pengangkatanku
menjadi panglima perang.
Setiap hari aku
berlatih seperti besi dan baja, itu adalah pelatihan yang sangat keras yang
pernah aku rasakan selama hidupku ini. Namun aku tetap semangat menghadapi
latihan itu seperti semangat saat aku harus membebaskan saudara – saudaraku.
Setiap hari aku harus terbang beratus – ratus cm dan menghindari berbagai panah
api, batu es dan pisau suci yang dapat memusnahkanku jika mengenai sedikit saja
bagian tubuhku. Melakukan hal yang sama berulang – ulang itu sangat
membosankan.
“Arke!” panggil sang
dewa.
“Ada apa tuan?” sahutku
penuh ketakutan.
“Nanti malam kita harus
pergi ke bumi lagi. Kita harus mencari permataku yang dicuri dan kita harus
menjalankan tugas kita yang sempat terhenti.” gertak sang dewa.
“Tugas apa tuan?”
tanyaku penuh bingung.
“Menurutmu apa? Dasar
bodoh! Kita harus membinasakan manusia lagi, jika tidak kita tidak bisa hidup
di Arkezonia lagi.” jawab dewa dengan nada yang tinggi.
“Baik tuan.” sahutku.
Setelah mendapat
perintah tadi aku langsung menyiapkan pasukanku dan menyusun barisan semaksimal
mungkin.
“Panglima! Panglima!
Kita mendapat banyak masalah.”
“Masalah? Masalah apa?”
“Banyak pasukan yang
mundur dan memilih dibinasakan di tempat ini.”
“Apa!? Jadi berapa
pasukan yang tersisa sekarang?”
“Hanya ada 100 pasukan
tuan.”
“Kalau begitu panggil
mereka ke sini dan kita segera berangkat.”
Kemudian 100 pasukan
itu berkumpul dan aku mulai menyusun ulang formasi. Setelah dirasa sudah siap
kami mulai terbang dan turun ke bumi. Dalam perjalanan semua pasukan amat gugup
dan tidak percaya diri karena jumlah mereka yang sedikit, namun menurutku
meskipun jumlah mereka hanya sedikit tetapi memiliki tekat yang kuat 1.000
pasukanpun dapat ditaklukan dengan mudah.
Pertempuranpun dimulai.
Kami semua berjuang hingga titik darah terakhir, banyak pasukan yang terbunuh
namun akhirnya kami dapat menaklukan malaikat penjaga bumi. Kami kemudian
berpencar untuk membinasakan manusia dan mencari permata milik dewa yang
sebenarnya aku telah mengetahui dimana keberadaannya. Saat ini aku hanya bisa
menyembunyikan segala kebenarannya dan ‘berlagak’ tidak tahu dimana keberadaan
permata milik dewa tersebut.
“Panglima. Aku telah
menemukan keberadaan permata milik dewa.” ujar seorang pasukanku.
“Ada dimana permata
itu? Dan siapa yang mencurinya?” tanyaku ‘sok’ tidak tahu.
“Ini tuan ada di perut
dukun ini.” terang seorang pasukan.
Aku dan pasukanku
berencana untuk membawa dukun itu ke Erazonia. Namun jika nanti ketahuan yang
mencuri permata itu adalah aku maka akan terjadi malapetaka besar untuk
hidupku. Otakku berpikir dengan keras bagaimana caranya untuk membebaskan si
dukun agar aku terlepas dari malapetaka. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Bagaimana
ini? hanya pertanyaan itu yang menggerogoti otakku dan memeluk erat pikiranku.
Hingga saat inipun aku belum juga menemukan jawaban atas pertanyaan itu.
“Hei gagak. Lepaskan
aku.” bisik dukun itu.
“Diam kau! Aku juga
sedang memikirkan caranya ini!” gertakku.
Akhirnya setelah aku
bicara dengan si dukun aku menemukan sebuah ide, yaitu dengan menjatuhkan
kurungan si dukun dan seakan – akan dukun itu kabur. Aku langsung membicarakan ide ini kepadanya
dan dukun itupun menyetujuinya. Malampun tiba, aku dan pasukanku akan kembali
ke Erazonia setelah semua misi terselesaikan. Dan aku menghasut pasukan –
pasukanku agar aku yang membawa kurungan si dukun, dan akhirnya mereka
menyutujuinya. Didalam perjalanan aku berpura – pura sayapku sakit dan aku
terjatuh.
“Hei lihat dukun itu
melarikan diri!” teriak seorang pasukan.
“Ayo kita tangkap.”
sahut pasukan yang lain.
“Cepat – cepat.”
perintahku agar aku tidak terlihat sengaja melakukannya.
Pasukan
iblis dan gagak berbondong – bodong mengejar si dukun yang sedang mencoba
berlari. Dukun itu bahkan kehabisan sihirnya untuk melarikan diri, karena hal
itu dukun itu dapat tertangkap dan dijerat oleh sihir si iblis terkuat. “Sial
malapetakaku akan segera datang,” pikirku. Tiba – tiba pikiran jahat merasuki
pikiranku “Aku akan mengancam dukun itu agar tidak mengatakan semuanya kepada
dewa.
“Hei
dukun. Kamu tidak boleh mengatakan bahwa kau mendapat permata itu dariku.”
Bisikku setangah tinggi.
“HAHAHAHAHA,
dengan alasan apa aku harus seperti itu? Apa kau bisa menjamin hidupku jika aku
tidak mengatakan hal seperti itu?” bantah si dukun.
“Oke
aku akan berikan sayapku dan ilmu kekebalanku kepadamu jika kau berjanji tidak
akan mengatakan hal itu kepada dewa.” tawarku.
“Boleh,
mana? Sekarang berikan sayap dan ilmu kebalmu kepadaku.” Pinta dukun itu kepadaku.
Aku
kemudian melepas sayapku meskipun hal ini sangat menyakitkan namun demi hidupku
aku relakan semua ini. Setelah sayapku diterima oleh si dukun, aku kemudian
menstranfer ilmu kebalku kepada dengan syarat aku bisa musnah jika aku terluka
sedikit saja. Setelah melewati masa – masa sakit karena pelepasan sayapku dan
pentransferan ilmu kebalku, kami akhirnya tiba di Erazonia, tempat nan gelap
dan menyeramkamkan.
Tanpa
pikir panjang aku melaporkan semua kejadian hari ini kepada dewa dan
menceritakan bahwa si dukunlah pencuri permata dewa. Karena terlalu marahnya
dewa ia menyuruh pasukannya untuk menghukum dukun itu dengan hukum cambuk
hingga mati. Namun, hal tak terduga dikatakan oleh si dukun kepada raja sesaat
sebelum ia menerima hukumannya.
“Tunggu
dewa. Aku ingin menyampaikan kebenarannya. Bahwa sesungguhnya yang mencuri
permata ini bukan aku melainkan si gagak cacat yang dibuang di bumi.” tegas si
dukun.
“Siapakah
maksudmu? Arke?” tanya dewa dengan bingung.
“Benar
dewa siapa lagi kalau bukan dia. Buktinya adalah sayap dan ilmu kebal ini dewa,
ia memberikannya kepadaku sebagai imbalan atas janjiku untuk tidak membicarakan
hal ini kepada dewa.” sahut si dukun.
Mendengar
perkataannya nyawa ini seakan sudah melayang terlebih dahulu. Darah berhenti
mengalir dan jantung berhenti berdetak.
“Arke!
Apakah benar yang dikatakan oleh dukun itu tadi?” suara lengkingan dewa itu
seakan menusuk telingaku.
“Be....
Benar dewa.” jawabku yang sudah tidak bisa mencari alasan lagi untuk berbohong.
“Tega
– teganya kamu melakukan semua hal itu Arke. Tanpa permata itu semua rakyat
Erazonia akan binasa Arke!” jelas sang dewa.
“Maaf
dewa aku tidak mengerti bahwa akan terjadi seperti itu dewa. Aku sangat
menyesal atas perbuatanku ini dewa. Maafkan aku dewa.” sesalku.
“Semua
sudah terlambat Arke, nanti pukul 5 pagi kita semua akan binasa.” Jelas sang
dewa kembali.
Aku
sangat menyesal atas perbuatanku ini, namun aku tidak tahu apa yang harus aku
lakukan agar saudara – saudaraku tidak ikut dibinasakan. Semuanya sudah
terlambat. Hanya aku berjanji dalam hatiku tidak akan mengambil barang milik
orang lain meskipun aku harus dibinasakan sekalipun.
Karya : Eunike Yuniar Raharjo
Komentar
Posting Komentar